Lumpur Lapindo Bentuk Kejahatan Lingkungan

Jakarta, Kompas - Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan, kasus lumpur Lapindo yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai kejahatan atau tindak pidana oleh perseroan terbatas atau PT sehingga pelakunya tidak hanya bisa dituntut secara perdata, tetapi juga pidana. Hendarman mengungkapkan itu dalam pidato pembukaan seminar yang diadakan Ikatan Advokat Indonesia bertema "Implementasi UU RI No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas" di Jakarta, Kamis (15/11). Dalam UU tentang Perseroan Terbatas yang baru dinyatakan, perseroan yang bidang usahanya berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam hal kerusakan lingkungan, Jaksa Agung mencontohkan lumpur Lapindo sebagai peristiwa yang berdampak luas. Menurut dia, tindak pidana oleh pelaku ekonomi atau perseroan memang berdampak lebih luas daripada kejahatan perorangan. UU itu juga menyebutkan tugas direksi dan dewan komisaris perseroan untuk mewakili perseroan sepenuhnya, termasuk bila perseroan tersebut mengalami kerugian atau dinyatakan pailit. UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas memungkinkan permintaan pertanggungjawaban secara langsung atas tindak pidana yang dilakukan oleh perseroan.
Iklan Lapindo Terkait dengan iklan PT Minarak Lapindo Jaya di berbagai media, Indra Jaya Piliang dari Centre for Strategic and International Studies mengatakan, masyarakat dapat menilai dan bersikap terhadap hal itu. Sebagai sebuah perusahaan, PT memang harus selalu berusaha menancapkan citra baik di masyarakat, terutama terhadap masalah yang mereka hadapi. Namun, masyarakat berhak menilai dan membandingkannya dengan informasi lain. "Jika sebagian besar masyarakat meyakini isi iklan itu tidak benar, justru dapat berakibat negatif bagi pemasangnya. Sebab, dapat memancing perlawanan dari masyarakat," papar Indra. Bahkan, lanjut Indra, masyarakat yang umumnya tidak memedulikan semburan lumpur Lapindo menjadi bertanya-tanya mengapa sampai ada iklan itu. Hal senada disampaikan Patra M Zen dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Menurut dia, bisa saja PT Lapindo membuat beberapa klaim, seperti semburan lumpur di Porong bukan karena pengeboran atau para korban diperlakukan layak. "Namun, masyarakat sudah tahu apa yang sesungguhnya terjadi," kata dia. Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengungkapkan, saat ini pihaknya telah menyiapkan tim untuk mengevaluasi dampak luberan lumpur PT Lapindo. "Ada kerusakan lingkungan yang menyebabkan hak-hak warga, seperti hak atas tanah, hak atas pekerjaan, dan hak atas kesejahteraan, terlanggar," kata Ifdhal.
Belum dibayar Pemilik 11 perusahaan korban lumpur Lapindo, Kamis, memblokir upaya penebalan tanggul kolam lumpur di Desa Ketapang, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur. Hal itu terpaksa mereka lakukan karena Lapindo tak kunjung membayar ganti rugi. Pemblokiran itu dilakukan sekitar pukul 09.00 dengan memasang palang dari kayu di akses masuk menuju kolam lumpur di Ketapang atau tanggul yang berada di sekeliling pabrik PT Oriental Samudera Karya (Osaka) yang sudah terendam lumpur. Menurut Direktur PT Osaka, Johny Osaka, sepuluh hari yang lalu 11 perusahaan yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Korban Luapan Lumpur Lapindo bertemu PT Minarak Lapindo Jaya dengan difasilitasi Menteri Komunikasi dan Informatika M Nuh. Dalam pertemuan itu, pengusaha korban lumpur mau menurunkan kembali klaim ganti rugi yang diajukan 30 persen sampai 40 persen. Saat itu PT Minarak belum mengambil keputusan dan meminta waktu satu minggu. "Satu minggu sudah lewat, tapi tak ada jawaban sehingga kami terpaksa unjuk rasa lagi karena kami sudah menunggu satu tahun lebih," kata Johny. (JOS/NWO/APA/a14)

1 comment:

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.