KPK Menyerah

KPK Angkat Tangan
Pengusutan Aliran Dana Rokhmin ke Tim Capres 2004 Dihentikan
JAKARTA - Ini mungkin kabar baik bagi para pejabat, mantan pejabat, dan politisi yang kecipratan aliran dana nonbujeter DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan pengusutan terhadap para penerima dana itu. Padahal, mantan Menteri DKP Rokhmin Dahuri yang membagi-bagikan dana tersebut kini meringkuk dalam tahanan dengan status tersangka korupsi. Sebaliknya, putusan KPK tersebut bisa menjadi kabar buruk bagi sejumlah kalangan yang menuntut keadilan. ICW (Indonesia Corruption Watch) sebagai pelapor menyatakan prihatin. Maklum, kasus itu menggegerkan publik. Perkara itu dapat disebut sebagai salah satu skandal korupsi terbesar karena sejumlah tokoh nasional dan anggota DPR mengaku menerima dana tersebut. Sejumlah pasangan calon presiden-wakil presiden 2004 pun diduga ikut menikmati uang dari Rokhmin itu. Mengapa KPK menghentikan penyelidikan? Apa alasan KPK angkat tangan hingga tidak melanjutkan perkara itu ke tingkat penyidikan? Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean menjelaskan, pihaknya mengalami kesulitan menentukan apakah dana DKP yang diterima sejumlah capres, tokoh nasional, dan anggota DPR itu dapat dikatakan sebagai gratifikasi. "Katakanlah pemberian itu untuk membantu seseorang menjadi capres. (Tapi, itu, Red) tidak diberikan langsung ke yang bersangkutan, melainkan kepada tim suksesnya," ujarnya. Tidak semua pemberian dana, tambah Tumpak, bisa diklasifikasikan sebagai gratifikasi. Meski telah memanggil beberapa orang di tingkat penyelidikan, tidak ada titik terang bagi KPK untuk melanjutkan kasus tersebut. "Belum ada satu kasus dari klarifikasi yang kami lakukan kepada penerima-penerima itu yang dapat kita tingkatkan ke penyidikan," tambah mantan jaksa tersebut. Perkara Rokhmin dihentikan di tingkat penyelidikan. Lain halnya bila kasus ini sudah memasuki tahap penyidikan. Otomatis, penanganannya tidak bisa distop karena penyidikan KPK tidak mengenal SP3. Sejumlah nama sempat disebut-sebut sebagai penerima dana. Bahkan, disebut-sebut, dana DKP mengalir rata ke lima pasangan capres dalam Pilpres 2004. Misalnya, mantan Ketua MPR Amien Rais mengaku menerima dana Rp 200 juta untuk kepentingan kampanye dirinya sebagai capres. Dalam berita acara pemeriksaan Rokhmin, Imam Addaruqutni yang tercatat sebagai anggota tim sukses SBY telah dua kali menerima duit. Pertama, Rp 25 juta pada 14 Januari 2004 dan kedua Rp 200 juta pada 10 Juni 2004. Selain itu, politikus PKS Fachri Hamzah disebut-sebut pernah menerima Rp 100 juta. Cawapres Salahuddin Wahid juga mengaku menerima Rp 200 juta. Saat pilpres, dia berpasangan dengan Wiranto dari Golkar. Masyarakat digegerkan oleh informasi tersebut. Bahkan, Presiden SBY ikut tersengat karena disebut-sebut sejumlah capres-cawapres 2004 ikut mendapatkan dana itu. Dia pun mengklarifikasi di depan publik bahwa tim kampanyenya tidak menerima dana DKP dan dana-dana fiktif lainnya. Saat dihubungi kemarin (15/11), kuasa hukum mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, Herman Kadir, menyatakan kecewa atas informasi tersebut. "KPK diskriminatif dan sangat terlihat tebang pilih. Mana bisa pemberi dipenjara, sedangkan yang menerima dibiarkan bebas begitu saja," ujarnya. Pengacara berkepala plontos itu menyatakan tak rela kliennya dipidana bersama mantan Sekjen DKP Andin H. Taryoto. Apalagi, kata dia, jelas-jelas ada bukti dana DKP mengalir ke sejumlah oknum dari catatan yang dibuat staf Rokhmin, Didi Sadili. "KPK harus menuntaskan kasus tersebut," tegasnya. Sebagai pelapor soal aliran dana ke politisi, Indonesia Corruption Watch (ICW) merasa prihatin. "Celaka kalau kasus seperti itu dibiarkan berlalu tanpa sanksi," ujar Koordinator Bidang Hukum ICW Emerson Yuntho. Setidaknya, kata dia, para penerima yang disebutkan harus mengembalikan uang tersebut ke kas negara. "Ada yang keliru dengan KPK. Lembaga itu tampak lemah jika menyangkut kasus yang melibatkan politisi," ujarnya. Keputusan KPK tak melanjutkan kasus tersebut ke tingkat penyidikan akan berakibat buruk, terutama menghadapi Pemilu 2009. "Ini preseden buruk untuk Pemilu 2009. Orang akan terus mengalirkan dana fiktif lewat lemabaga-lembaga bayangan pendukung capres," ungkapnya. Apalagi, kata Emerson, sampai saat ini, tak ada filter berupa aturan dana kampanye yang tegas. Saat dihubungi terpisah, Wakil Badan Kehormatan DPR Gayus Lumbuun mengungkapkan, pihaknya akan mempertanyakan penghentian kasus tersebut kepada KPK dalam pertemuan di KPK, Senin (19/11). "Yang jelas, kami ingin mendengar alasan-alasan KPK mengapa hal seperti itu bisa terjadi," katanya. Politikus PDIP tersebut mengungkapkan, berdasar investigasi BK DPR dalam kasus aliran dana DKP, sudah ada tiga anggota yang kena sanksi. Salah seorang, yakni Fachri Hamzah, dilarang menjabat sebagai alat kelengkapan DPR. "Dua lainnya sudah kami teruskan ke KPK," jelasnya. (ein)

No comments: