
TASNIM ILMIARDHI
Praktisi hukum bidang Energi
PERCEPATAN pertumbuhan penduduk dan meningkat industrialisasi Asia ditengah keterbatasan sumber daya energi khususnya energi fosil, menyebabkan ketidakseimbangan ketersediaan sumberdaya energi tersebut dengan kebutuhan yang ada.
Ketersediaan pasokan energy secara nasional, sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan dan perekonomian sebuah Negara. Stabilitas perekonomian negara dan kelangsungan pencapaian pembangunan, tidak bisa dilepaskan ketahanan energy yang ada. Pasokan energi yang cukup, akses terhadap sumber-sumber energi yang berkelanjutan, kemampuan memanfaatkan sumber energi akan mendukung ketahanan energy nasional.
Kebutuhan energy di Asia diperkirakan akan meningkat, dari 110 quadrilliun Btu (Qbtu) ditahun 2002 menjadi 221 QBtu di tahun 2025 atau meningkat dua kali lipat dalam jangka waktu 23 tahun. Dari peningkatan yang demikian tinggi tersebut, China merupakan negara yang peningkatannya sangat tinggi yaitu dari 43 Qbtu ditahun 2002 menjadi 109 Qbtu ditahun 2025.
Kondisi energi Indonesia saat ini masih bertumpu pada sumber energy fosil dalam hal ini minyak dan batubara dalam pemenuhan energy secara nasional. Cadangan minyak bumi dalam kondisi menurun. Untuk energi baru dan terbarukan, meskipun Indonesia memiliki potensi beragam, namun pengelolaan dan penggunaannya belum optimal. Berbagai potensi energi tersebut antara lain: sumber energi nabati, gas, panas bumi, energi nuklir, energi surya, energi angin dan energi laut.
Bersama dengan minyak bumi, batubara merupakan sumber energy primer yang menjadi tumpuan dalam memenuhi kebutuhan energy secara nasional. Sebagai sumber energy primer, batubara merupakan komponen strategis dalam memberikan kontribusi bagi ketahanan energy nasional, dan hendaknya mendapat perhatian yang serius dalam pelaksanaan dan penanganannya.
Potensi sumberdaya batubara Indonesia sebesar 105,2 miliar ton, dengan cadangan sebesar 21,13 miliar ton (Badan Geologi Kementerian ESDM). Cadangan pun masih harus dipisahkan sebagai cadangan geologi, cadangan terbukti, dan cadangan yang dapat ditambang. Jumlah cadangan yang dapat ditambang biasanya setengah dari jumlah cadangan secara keseluruhan.
Sebenarnya Indonesia tidak masuk dalam peta, dan jika dibandingkan dengan cadangan Amerika, Cina dan Australia, angka tersebut masih cukup tertinggal. Cadangan terbesar ditemukan di Amerika Serikat, Rusia, Cina, India dan Australia. Dari tiga bahan bakar fosil, batubara mempunyai cadangan yang paling banyak didistribusikan. Batubara ditambang di lebih dari 100 negara, dan di semua benua kecuali Antartika. Namun realitasnya, Indonesia merupakan Negara pengekspor batubara terbesar dunia.
Ironis memang, disaat kebutuhan energy yang cenderung meningkat, Indonesia mengobral potensi energy yang ada, untuk dikonsumsi negara lain. Dengan asumsi tidak ada kegiatan ekplorasi baru, cadangan batubara Indonesia yang dapat ditambang akan habis dalam kurun waktu 20 tahun.
Tumpang tindih
Pemberlakuan otonomi daerah turut memberikan kontribusi negatif terhadap pertambangan di Indonesia. Ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah dalam mengelola sumberdaya alam menjadi keprihatinan tersendiri, namun justru di sisi lain, daerah diberikan kewenangan dalam menerbitkan sebuah perijinan pertambangan.
Daerah merasa berwenang dalam mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) berdasarkan wilayah masih-masing. Koordinasi yang minim antar instansi dan wilayah, serta tuntutan target pendapatan daerah, menjadi sebuah hal yang permisif untuk terbitnya IUP. Tidak jarang, IUP diterbitkan tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas kelayakan pelaku usaha di bidang pertambangan, yang tentunya bakal berujung pada terabaikannya good mining practice yang seharusnya dilakukan secara konsisten.
Sebagai dampak pemberlakuan otonomi daerah, eksploitasi batubara sebagai komoditas semakin tidak terkendali. Lebih kurang 8.000 IUP yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Belum lagi yang tercatat tumpang-tindih lahan dalam kawasan IUP.
Biaya mahal dan intervensi asing
Kondisi Indonesia tersebut semakin membuka peluang asing untuk menguasai langsung sumber daya batubara dan mineral. Perusahaan tambang asing, terutama China dan India, masuk menguasai tambang kecil dengan membiayai perusahaan-perusahaan tambang lokal yang kesulitan pendanaan.
Mahalnya biaya ekplorasi dan operasi produksi pertambangan secara tidak langsung memaksa perusahaan domestik untuk berpartner dengan asing. Tentunya hal ini akan membuat perusahaan menjadi economic oriented dan mendorong dibaikannya good mining practice yang seharusnya dijalankan. Tanpa perencanaan strategi yang komprehensif dan kaidah good mining practice, ekploitasi yang dilakukan secara masif dengan hanya berorientasi keuntungan semata, pada gilirannya akan berdampak negatif.
Kepemilikan tambang batu bara yang dulunya didominasi perusahaan berlatar belakang tambang, namun belakangan ini lebih didominasi institusi keuangan. Dinamika yang terjadi pada hubungan bisnis industri batubara dapat berubah dengan sedemikian cepat, dari satu pemilik ke pemilik lainnya.
Pola bisnis industri pertambangan bukan hanya berhitung pada nilai harga batubara atau komoditas, namun lebih didominasi financial engineering strategy. Bahkan, beberapa financial engineering company merupakan overseas player, yang terlepas dari batas-batas dan kepentingan negara.
Dengan masuknya investor asing tersebut, tentunya akan memprioritaskan kebutuhan kebutuhan energy dari negara investor. Praktisi batubara saat ini masih berorientasi harga, dan pasar ekspor merupakan target untuk memenuhi harga jual yang sesuai guna mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Tanpa disadari, Indonesia sudah menjadi hulu sumber daya batubara. Pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) untuk batubara yang hanya sebesar 30 persen, turut menambah terhambatnya pasokan energi primer di Indonesia.
Sangat diperlukan visi panjang dengan mengedepankan kebijakan coal for power development atau juga semacam kebijakan coal for oil substitution. Dapat diambil sebuah contoh, bahwa dengan visi yang kuat, India membangun batu bara sebagai bagian dari pembangunan energi nasionalnya, dan hampir 90 persen perusahaan tambang dikelola oleh negara. Hanya sekitar 10 persen yang diserahkan untuk perusahaan swasta, dan ini pun belum lama diberlakukan. Tentunya, hal tersebut dapat menjadi contoh agar Indonesia lebih melakukan koreksi kritis mengenai pemanfaatan cadangan batu bara nasional secara lebih bijak.
Saat ini porsi swasta nasional untuk penguasaan energi hanya 25 persen, sementara 75 persen dikuasai asing. Dominasi asing dengan penguasaan wilayah kerja yang meluas dan tersebar dari wilayah Sabang di barat sampai Papua di timur Nusantara, membuat kedaulatan negara dan bangsa rawan. Kondisi seperti itu berbahaya. Apabila terjadi sedikit saja gejolak keamanan di dalam negeri, asing bisa kirim segera kapal induk (kapal perang) ke wilayah Indonesia atas nama pengamanan aset dan warga negaranya. Kalau itu terjadi, habislah kedaulatan bangsa Indonesia.
DMO 30 persen dan eskalasi pasar Internasional
Prioritaskan kebutuhan batubara dalam negeri tertuang dalam UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang kemudian diterjemahkan dalam kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dari sisi jumlah pemasok, kualitas dan harga batubara, dengan besaran angka DMO berkisar 30 persen saja.
Data ESDM menunjukkan bahwa produksi batubara nasional tahun 2010 sebesar 262,48 juta ton. Dari keseluruhan produksi batubara nasional tersebut, hanya 24,17 persen untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, sedangkan sisanya (75, 83 persen) untuk kepentingan pasar ekspor.
Harga batubara pada pasar internasional tidak cukup hanya dengan mengandalkan parameter demand dan supply semata. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian adalah variable kompetisi financial performance dari masing-masing pelaku usaha. Disamping itu juga perlu dilakukan pendekatan bisnis oleh pengimpor, dalam hal ini oleh end-users ataupun traders, dan tidak hanya sebatas kualitas, harga batubara, pengapalan, dan poin-poin yang diperjanjikan lainnya.
Bahkan kalau dicermati, pendekatan untuk mendapatkan batubara , baik untuk short term dan long term, sudah dapat dikaitkan dengan berbagai komitmen lainnya yang berhubungan dengan pendekatan finansial. Seperti pendanaan proyek atau pinjaman keuangan, komitmen untuk berinvestasi, peralihan kepemilikan saham, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, tingkat keamanan pasokan batubara (security supply) nasional tidak hanya dapat dibaca dari sisi produksinya saja, tapi harus lebih detail pada sisi posisi perusahaan tambang, infrastruktur, potensi ekspor, harga ekspor, dan pola kontrak yang terjadi.
Upaya Serius
Dengan banyaknya dominasi kepemilikan asing dalam pertambangan batubara, tentunya akan lebih memprioritaskan penjualan ekspor, dengan pertimbangan harga internasional serta kebutuhan energi dari negara asing pemilik tambang tersebut. Dari aspek tersebut, batubara semakin memiliki nilai penting dan strategis, baik dari aspek likuiditas keekonomian, maupun ketahanan negara.
Batubara sebagai unrenewable energy memberikan daya dukung atas ketahanan energi Indonesia. Batubara seharusnya menjadi sumber daya strategis dan perlakukannya harus memberikan manfaat maksimal bagi kesejahteraan bangsa. Melihat laju pertumbuhan penduduk ke depan, dengan jumlah pertumbuhan penduduk Indonesia yang diproyeksikan menjadi 247 juta jiwa pada tahun 2015, dan hanya memiliki cadangan 20,9 miliar ton saja, maka sangat perlu memaksimalkan pengelolaan batubara untuk membangun sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Variable hitungan atas dasar economical reserves yang dihitung atas parameter keekonomian, mining cost kedalaman batubara, distance cost, atau transportation cost, menjadi sebuah parameter elemen pengurangan ini atas cadangan batubara yang ada. Bisa jadi reserves Indonesia jauh di bawah 20,9 miliar ton. Sebaliknya tanpa memperhitungkan tingkat produksi nasional, batasan ekspor yang rasional, bisa jadi umur produksi batubara Indonesia hanya sampai 20 tahun, atau hanya sebatas umur PLTU. Jauh dari umur eksistensi Negara dalam menghidupi umur generasi yang terus tumbuh.
Batubara bahan strategis, peningkatan DMO, dan coal for power
Dalam memenuhi kebutuhan energi yang sedemikian tinggi di Indonesia, harus mampu menjaga ketersediaan pasokan energi, baik untuk saat ini maupun untuk generasi mendatang. Batubara sebagai salah satu komponen pendukung sumber energi tentunya harus mendapatkan perhatian yang lebih serius.
Regulasi yang lebih ketat sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan penyediaan energi berbasis batubara. Dari selama ini yang menjadi sebuah komoditas dagangan, baik local maupun internasional, tentunya akan lebih baik jika dijadikan menjadi bahan dasar pembangkit tenaga listrik untuk konsumsi dalam negeri.
Dalam Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, batubara memang hanya menjadi bahan galian biasa, sehingga perlakuannya pun tidak berbeda dengan bahan galian lainnya. Hal ini sangat berbeda dengan Undang-undang Pertambangan sebelumnya (Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ), yang menjadikan batubara sebagai bahan galian strategis.
Pengembalian batubara sebagai bahan galian strategis sangat diperlukan sebagai upaya menjaga ketersediaan pasokan energi nasional. Diantaranya dengan melakukan penataan ulang dalam hal regulasi baik dari tingkat Undang-undang sampai aturan teknis pada setiap departemen.
Pemerintah harus lebih serius untuk menetapkan secara pasti bahwa batubara merupakan kekayaan sumber daya alam strategis (unrenewable resources) yang harus dikuasai negara dan sebagai komoditas yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional yang selanjutnya digerakkan sebagai economic booster dalam mengangkat pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan posisi sebagai bahan galian yang strategis, tentunya tidaklah cukup memberikan batasan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dari sisi jumlah pemasok, kualitas dan harga batu bara, dengan yang ada seperti sekarang ini. Prioritas kebutuhan batubara dalam negeri tercantum dalam UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara perlu ditingkatkan besaran angkanya, dengan harapan terpenuhinya pasokan energi untuk kepentingan bangsa, termasuk di dalamnya pengamanan dalam arti fisik berupa kepemilikan Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Terjaganya pasokan batubara dengan tidak menempatkan sebagai alat komoditas perdagangan biasa, diharapkan mampu sebagai penggerak ekonomi (economic driver) yang mempunyai nilai multiplier effect, khususnya dalam menggerakkan perekonomian dan industri nasional. Kebijakan coal for power development diharapkan mampu memenuhi kebutuhan infrastruktur pembangungan di sektor energi.
(***)
No comments:
Post a Comment